Wednesday 11 November 2009

A Game In Jakarta

Hari ini, dimana masa begitu abstrak dan sulit untuk dipadupadankan. Tak ada cahaya sesatir bait-bait pengeras suara di belahan dada senayan. Mendeklamasikan sekeping sejarah atau malah menambah deret darah yang tumpah pada daftar surat kabar? Mereka keluar masuk kuda besi, dalam larik pidato tak ada lantunan tentang kisah malaikat kecil berbekal bulu ayam di bibir jalan. Sungguh membuatku iri, katanya negriku mewariskan atap kelabu dan selimut debu. Sementara ada beribu lembar rupiah yang mereka sembunyikan dibalik resleting celana. Aku pikir ini sebuah pertunjukan teater, ternyata bentang luas sayap garuda menjadi gulita, ini realita. Lensa elektronik semakin lugas merekam jejak, memulas segudang persimpangan atas putaran roda, hidup atau mati sia-sia. Selirih jeritan besi peron. Sebilangan anak berkata "Cita-citaku ingin jadi preman","Aku ingin jadi pelacur, Kak..."

Bukankah itu lebih baik daripada tidak memiliki cita-cita? Atau memiliki cita-cita setinggi emas Monumen Nasional tapi menjajah bangsa sendiri?


October 20th, 2009.

SOULMATE

Ketika hujan di malam jumat, jarum-jarum airnya tersorot lalu lintas margonda. Dan kita terpagari oleh tirainya, masih ada alasan untuk bersinggah lama-lama pada teduhan. Sudah ketiga kali kita berbalut busana yang sama,tapi aku tak pernah menemu kata untuk mengungkap betapa aku menginginkanmu lebih besar dari keinginanku akan hidup ini. Sebab kau bukan bagian dari keganjilan, kau sebelah sesuatu yang mereka sebut jiwa..

REGRET

Mampirlah ke pusaraku. Jangan kau hanya memangku pada nisannya sambil mendekap lily itu. Kau garuk-garuk tanahnya yg masih merah selirih wajahmu, lembab. Tiap senja telah kutenun rindu di melerai sepi. Dlm takdir tak ada hadir. Bila nanti sangsiku tak berdawai lg,di sisimu..

Silent Sunset

Sekali lagi bias jingga melukis cakrawala dalam balut manja di ambang fatamorgana, gelepar layar tersibak oleh kerlingan bayu yang mengantar pulang gemericiknya kepada karang. Sebelum bayang itu betul-betul berpendar di raga pasir putih, sorot matamu tetap sayu perlahan menggugurkan riuh dalam isak haru. Dimana masa tak oernah terlalu sia-sia, karena sunyinya senja.


September 26th, 2009

Lekas Deras

Tergeleparnya sengau alam sehabis petang dengan rona, di sandaran bambu rintiknya bercumbu.

Menjejal jemu, paparkan binar-binar semu.
Kelopaknya merindu bergerimis dan tersipu.

Aku ada bersama bulir air malam ini jika kau menjelma menjadi rumput dahan.



Kantin Sastra FIB UI
September 1st, 2009
19:16

Sunday 20 September 2009

SOSOK (Part II)

Aku tak pernah lupa pada manik matanya yang sayu, yang selalu menjejal-jejal rasa gelisahku. Kadangkala ia mematung, dan sorot itu masih tetap sama, penuh ilusi tanpa sangsi. Selalu saja aku ingin membungkus deretan pengap nafasnya, sebagai kado kala kuterlelap di bahunya..


September 13th, 2009
19:05

Sunday 6 September 2009

Lekas Deras

Tergeleparnya sengau alam sehabis petang dengan rona, di sandaran bambu rintiknya bercumbu.

Menjejal jemu, paparkan binar-binar semu.
Kelopaknya merindu bergerimis dan tersipu.

Aku ada bersama bulir air malam ini jika kau menjelma menjadi rumput dahan.



Kantin Sastra FIB UI
September 1st, 2009
19:16

Violets

Your face that replaces the darkness, drawned my temperance. Too short when every breath makes your eyes conside, too long if I want to hide a bank of violets.

September 1st, 2009
22:24

Batas Waktu

Aku ingin sekali mengikat jarum-jarum pada jam, berdamai dengan waktu. Hingga tak ada batas untuk merajuk pada bahumu, tak ada spasi yang memangkas tatapan dua bola matamu..

August 12th, 2009
15:27

Teruntuk Dia yang Jauh

Sendu menyisir tirai-tirau kayu di puing manik mata yang sayu
Terjerembab pada jeda dan tiap jengkal kilometer
Berlemah lesu menggenggam pusara haru
Ah! Rindu


Takor FISIP UI
Agustus 2009

Tuesday 25 August 2009

BOHONG

dengar-dengar ada yang meletak lentera yang dipantera pada sebuah ruangan
mengetuk jejumput kerisauan di kelindan malam
tapi aku hanya melihat baju yang kau kenakan itu samar
membawa pergi titik cahaya yang pernah redup hingga berdegup



August 25th, 2009

Saturday 22 August 2009

KALA

KALA

Kala bentang hidup kau tapaki, satu demi satu tertinggalah masa. Menelusur tiap keping kenangan. Dan yang masih tersisa kau genggam bersama waktu, di antara jeda tiap kedip detiknya. Mereka, tubuh-tubuh yang datang dengan beragam lebam di hadapmu. Mendaki gegap cerita bersama, dari yang haru sampai goresan baru. Umur dapat lebur saat hembusannya membuat kau tersadar bahwa kau belum berbuat apa-apa di usiamu yang menanjak kepala dua. Segala pilihan berembun layuh di percik peluhmu. Berapa banyak hingar bingar dan semerbak yang tertimbun di pucuk pengharapanmu? Jikalau dapat aku memejam dalam ricik doa, menghujam hanya ingin seonggok daging itu tetap berjiwa dirimu seperti sedia Kala...

"Selamat Hari Ulang Tahun !"



August 16th, 2009
23:29

Sunday 26 July 2009

Ruang Rasa

Masihkah secangkir kopi yang kau minum tadi malam terasa pahit seperti malam-malam sebelumnya?

Dalam retak seringai jarum jam yang selalu ingin kau putar, karna lelah menantiku

Disini, di ruang rasa, kita berjumpa



Banten, July 24th 2009

SOSOK

Degup pada ranah buaian jiwa tak kunjung redup

Salahkah aku jika mulai takut kehilangannya?


July 16th, 2009
21:16

GOLDEN MOMMENT

GOLDEN MOMMENT ; Inspired by Dimas Suryo's Photograph

Aku
Jengah memandang
Petikan merah langit yang terlalu menghadirkan bayangmu
Selamat senja


Kantin Sastra FIB UI
June 17th, 2009

Saturday 11 July 2009

DURI

Tubuh ini terkapar rapuh berdentum duri-duri menampak luka pada diri sendiri

Hasrat terbenam mendera lara, sukma yang terpenjara saat kuncup itu mengecup

Berhatilah merengkuh jikalau keruh menusuk dan gejolakmu luruh

Saat itu aku menjuntai pekat, namun kau menyiasati percik serpihan menjadi mozaik, mengurainya menjadi resah

Merasuki sendi-sendi perih bersama riak tanpa keringat, hamparan jengah

Kenapa sudah menggelayut pada rerimbun duka, aku ingin melihat sorot matamu yang layuh

Karena tubuh ini berduri berselimut nyeri, tubuhku

Bahkan hanya pada kulit arimu, aku tak kuasa

Seperti daun terhanyut di aliran sungai, aku hanya bisa menyeringai



July 5th and July 9th, 2009

Friday 10 July 2009

Untuk Yang Merengkuh Jejaring Hati

Cahaya di juntaian metropolitan itu berkejar-kejaran
Bergelimangan di liku sorotan
Beku ini melayang rasuki dan memaki
Pada lempeng bening hari ini
Masih..



July 10th, 2009
Gedung 7 FIB UI
18:04

Monday 29 June 2009

Selusin Wajah

Ada derit meninggalkan bongkahan lapuk
Segelimangan tubuh menjajah keringat
Suara menyusup mengepak kantuk
Diantara bidikan jarum jam
Terseok-seok bersama senja

Selusin wajah itu..

Menggores bau asing, melupa derita
Hisap tembakau di depan surau

Selusin Wajah itu..

Memainkan percikan api di selimut malam
Diikuti gesekan kisah-kisah galau
Pada tapakan rimbunan lumut kotor
Di tepian kemarau
Satu hati untuk berbagi



June 27th, 2009
Desa Sajira, Rangkas Bitung

Saturday 27 June 2009

Masihkah Engkau

Malam ini langit menelangsa sejumput senyum bercahaya

Mengirim sorot pada cengkramaan rekam besi tak bergurat sisi

Suara hati parau gelisah diseruput senja tadi

Indah tetapi resah



Sajira, Rangkas Bitung
June 27th, 2009
23:42

Monday 22 June 2009

Rindu

Aku merindukanmu seperti meniup ribuan lilin yang tak ingin kupadamkan

Seperti pelupuk tanah yang merindukan daun berguguran luput dari dahan


June 23rd, 2009
Ruang BEM FIB UI
11:25

Saturday 30 May 2009

Tanpa Judul (Part.2)

" Suatu hari ada anak Adam dan Hawa,
Yang satu menggenggam salib,
Satunya merengkuh tasbih,
Atas doa-doa yang terhembus meminta dipersatukan,
Padahal tak pernah satu pun mengicip biji khuldi apalagi buahnya,
Melainkan mencari muara yang sama yaitu Surga..."

"... Anak Adam dan Hawa terhentak karena mereka tak pernah berhasil menaruh telur paskah diatas sajadah..."

"... Dan ketika itu anak Adam tak pernah sadar bahwa ia telah membawa sang anak Hawa dan melelapkannya di atas ranjang api..."

"... Yang anak Hawa tau adalah bahwa sampai aliran darah terpisah dari urat nadinya, ia masih mendengar adzan"



cindymelody
Pamulang
May 30th, 2009
20:52

Wednesday 27 May 2009

Menggambar Nanar

Dengan perlahan mengukir uratmu agar aliran yang lewat melahirkan denyut tak bertepi

Menarik garis lurus serambi menjahit goresan yang belum terkikis

Aku hanya punya selembar kertas yang kusapu dengan gelap terang

Membuatnya lebih perspektif dengan kayu yang terserut

Bukan tak rela, tapi memaksa mengerucut

Tiada kubiarkan tumpul
Maka kuserut saja kayu itu sampai ke jariku

Beberapa menyembul diantara kulitku

Agar kau terombang ambing menempa guratan kasar

Sungguh aku tak pernah ingin menghapusnya

Atau membubuhkan warna yang berlebihan

Karena pasti masih ada bayangan disana...



Pamulang
May 26th, 2009
23:03

Sunday 24 May 2009

Panas Setahun, Hujan Sehari

Hamparan pasir pada padang itu berisi detak-detak atas serpihan yang tak pernah sempat dipunguti

Selalu kutemukan rerontokan daun kering di derai-derai peristirahatan

Kemarau ini lama bersemayam, menghentikan kata pada petak tenggorokan

Muram mencekam terlalu haus,
Apa yang disebut kehilangan

Namun kali ini langit sembab
Semakin jelas terlihat barisan rintiknya berjatuh tersorot cahaya jingga
Ditelan rona aspal jalanan merengkuh pijakan kita
Melahirkan gejolak atas dua sorot cokelat bening
Membuat merinding, melupa dingin

Panas setahun luruh oleh hujan sehari

Tidak seperti biasanya,
Aku bisa tersenyum sepuas-puasnya



Cindy Melody
Pamulang-Banten
May 24th, 2009
21:14

Monday 18 May 2009

Mutiara Hitam

Pecah putik jelantah di jengkal telapak

Tembakau diasap meluluhlantakkan rayap

Kemanakah perginya lumut perisai dinding

Gerobak kuning berpeta merah melewati gedung jingga itu

Diam-diam aku masuk dalam pertapaan cemara

Geram mencari mutiara hitam dalam tumpukan garam

Dimanakah jatuhnya sangkakala diri

Membuaiku pada lingkar kerlip cahaya



May 19th, 2009
Kampus FIB UI
12:50

Saturday 16 May 2009

ANDROID

Pada seonggok daging yang bidang kau sandarkan aku
Melahap molekul pecah berhambur
Pikiranku mampat menerka degup-degup berantai

Kadangkala, kau urai hamparan rambut ini
Helai per helai
Sambil kau curahkan obat merah
Satu helai
Satu tetes

Melalaikan jumlah detik sebelum halilintar
Dengan kapas kau gagas di erangan jiwa tak beranak pinak
Setiap olesan rasa mengingkari masa
Kau susun sisa sari pati tengik menjadi sangat anggun

Diayun lembar kain perban belum terjahit
Tapi kau dapati dua telapakmu berhias jarum
Benang yang menyangkut masih harum

..............

Sampai kau membordir suara untuk ragaku

"Kau itu android, sayang..."



Pamulang-Banten
May 16th, 2009
20:45

Wednesday 13 May 2009

NAKED TREE

The rainy landscape consisted of brown leafless tree set against a backround of gray sky

Green crushed velvet marry the brench

When flower acting like rising extreme cold

My broken arms are blankly in seven dreams

I'll be killed by daylight reality

So, should I stay on the naked tree to the greatest evening?



Cindy Melody
May 13th, 2009

Tuesday 12 May 2009

Senja Itu Manja

Senja itu manja
Ketika aku berpura-pura tidur resah menunggui lilin berpendar

Senja itu manja
Ketika aku melihat kau mengasap sebelum purnama
Hingga aku menjajakan mimik gemulai



Ruang 4205
Kampus FIB UI
May 12th, 2009
17:47

Sunday 10 May 2009

Perjamuan

Rangkaian anggrek hitam menikam bayangan, di tengahnya perkamen kusut berukir ucapan selamat

Kau pasti belum lupa saat yang tersaji di bawah silinder bertabur binar ragu menyudutkanku

tak beda malam ini, ada dua piring hidangan tersaji menagih janji

Yang satu mereka sebut Cinta
Yang satunya mereka sebut Luka

Cinta-Luka


Aku memilih luka..



Pamulang-Banten
May 10th, 2009
21:39

Saturday 9 May 2009

Tuhan Amputasi Aku !

Tuhan tolong,
amputasi saja hatiku
agar aku tiada merasa apa-apa

agar aku tidak merasa

cinta
benci
dendam
perih
rindu
trauma
sakit
cinta
cinta
rindu

Tuhan amputasi aku !



May 9th, 2009

Thursday 7 May 2009

Kucangkokkan Hatiku di Pelupuk Ranting

Pada siapa mereka berlomba melebur pasir-pasir bijak

Aku bercandu membuat sangkar dari cagar patahan ranting-ranting kecil yang berserakan dan terinjak

Dari rerontokan cambuk helai kering untuk sandaran

Pohon yang hanya kaku mendesir
Sebelum tumbang oleh cabang yang mendesak tumbuh

Kalau tega, harusnya sejak lama aku mengamputasi agar kau lumpuh, pohon

Dengan pelakat akar yang pernah merengkuhku
Terikat gumpal tanah basah

Kucangkokkan hatiku di pelupuk ranting

Menempel untuk lubang luka menganga

Yang mungkin tertusuk kembali oleh benalu liar membelit



Pamulang-Banten
May 7th, 2009
Cindy Melody

Monday 4 May 2009

HALUSINASI

Biduan malam berselaput melacur riak sengau
Serumpun alang-alang turut mencambuk daun kepala

Telaga antara tiga taman berbingkai nyiur gading melilit jenuh
Tanpa menyelup sedikit telunjuk, aku terkatup
Tanpa menyelam setengah telapak aku tenggelam, dalam, geram..

Kau menanam isak di bawah lapisan organ tubuh pahit tempat pemberhentian segala pasukan
Saat aku memandang siluet dirimu di atas cawan buah
Sumringah kawan lelah
Tapi ternyata hanya bayu yang berbaur asap halus singgah di wajahku..



May 4th, 2009
Kantin Fakultas Ekonomi
Kampus FEUI
20:09

Saturday 2 May 2009

Seribu Tanda Tanya Satu Jawab

Seusai aku melipat serat getah semenjak gema adzan bersenggama dengan nyanyian unggas
Melintas tiga kota mendongkrak tiap denyut nadi pada tanda tanya suara hati
Malu perkara karena kau mencari muara di cakrawalaku
Diperingati liuk dahan tanggal
Kau berusung watak bersolek petuah
Memijarkan panas ingin dipenggal

Pikiran berkecambah mungkin akan pecah pada pertanyaan runcing
Seribu tanda tanya satu jawab
Jika kau anggap aku daerah kekuasaan yang harus dijamah
Tunjukan singa yang gemericik pada jiwamu
Maka aku akan berlari menghindari taring pengoyak luka
Sebelum sabit luntur kau bertutur
Mendalang di atas lilin-lilin untuk melelehkan gumpal, menari di kerincing api
Dengung tak semampai meledak memuntahkan duri
Aku bingung menafsir cahaya bintang yang melesat sesaat lalu hilang dicuri mega rapuh awal Mei




May 1st, 2009
23:49

Wednesday 29 April 2009

Gadis Miris Sastra Inggris

Terjebak dalam rimba lantunan, meretak otak gegas mengarah sajadah
Pada keranda agung tanpa sandiwara panggung
Alat berpijak sedang tak bijak
Kepompong terlalu hangat berkerah surya sengati lempeng kaca
Tiba sudah ke puri tak berperi
Tidak dengan kuda, hanya gerobak merah muda

Gadis Miris Sastra Inggris,
Membabat semak gelisah, memangkas perdu haru
Tiada mengerti tempaan suara
Biar lengah resap jengah
Adakah yang ingin menebar gores lengkung di bawah organ nafasnya?
Atau merentang hasrat di kerikil simpuhan garis sirat?

Murka memonopoli syaraf mulia berjejal murung
Dia terkurung di tengah ordinat teduh
Menelaah penangkal tangis untuk kulit bintang yang berpendar

Gadis Miris Sastra Inggris,
Menepis yang terkikis hingga habis segala manis

Tragis..



April 29th, 2009
21:26

Monday 27 April 2009

Expectation

Buntalan kertas tergeletak di atas keramik, malam yang ganas bikin lemas

Mentari terlalu meranggas pagi tadi di kala aku berpapas dengan segelimangan tubuh yang hendak memetik debu

Dalam hitungan semut berjalan, kusandarkan raga di atas kotak lembut, di bawah temaram lampu aku menghela sepercik nafas

Hendak arwah berjalang menuju negeri di bawah kapuk, namun kau belum menjumput singasana, pemuda berkelana kijang?

Rebah selimut balut raga, jangan lagi detak terkecup kutuk dalam kantuk

Aku belum binasa ketika ujung fajar menanti untuk kembali dikedipkan bilik matamu



April 27th, 2009
23:11

Sunday 26 April 2009

Tepi Mimpi

Rupanya pernikahan sedang goyah
Antara bumi dan matahari
Aku menyaksikan mereka terpisah
Memelas dalam kelabu
Kali ini hujan malam waktu barat

Saat kau terpejam, aku jatuh dalam mimpimu
Membungkuk, mencuri kuduk
Mengirim wangi anyir tanpa busana hitam
Beradu dengan peristirahatan

Aku tidak perlu merobek kepalamu
Untuk menggigit kerut itu
Aku hanya ingin meletakkan lentera di belakang mata
Agar kau sejenak tak histeris
Berlabuh terpelanting dalam doaku

Kemudian jatuh dalam hakikimu
Kau terkaget dan bertanya
Sosok aku meradang pada cabang
Bukan membiarkan malaikat berdatang
Bahkan mengirim tulang ke kafan
Sayangnya aku tidak menemu jalan pulang
Aku tersesat dalam tepi mimpi
Lenganmu terlalu kuat menahan
Memintaku membakar realita
Mendampingi dalam pembuluh bawah sadar

Tahukah kau,
Aku pun tak pernah suka yang terakhir



Selepas Hujan Malam Waktu Banten
April 26th, 2009
20:44

PERTIGAAN

Tak sejumput kubuka gerbang
Angin hitam menyusup lewat celah sempit
Tak rapat, tak dapat, mencari sempat
Hahaha keparat !

Aku menyusun seperempat sisa malam
Pada apapun yang berliku
Di pertigaan hati
Menyapa hantu trotoar di pucuk kenistaan
Jembatan pucat tak lupa kubelai
Agar aliran ini tersendat dan mengumpat

Masih kau tidak mengerti?
Belikan saja aku peti
Bukan untuk yang mati atau harum melati
Kaulah yang genggam langkah sedikit darah
Tunjukan gagah tanpa arah
Biarlah
Langit bersuara marah

Rebana memilin lagu
Pulanglah sebelum minggu gagu
Bunda menunggumu penuh terigu

Di pertigaan hati,
Pundi-pundi dalam jerami
Dipusingkan aksioma membentuk harmoni
Aku berbasuh rembulan tanpa teduhan
Lagi-lagi turun hujan

Kuseka tatapan dengan embun
Berkilah melihat sederetan kabar
Dari pancar kotak besi gelegar
Meluncur pada apa yang beda
Harap kau reda untuk mengada

Kalau begitu, biarkan aku menjahit bola mata dengan kelopak lebih dahulu




Hujan Senja Banten
April 26th, 2009
17:15

Thursday 23 April 2009

Ekstasi Tak Bereaksi

"Aku mengetuk hari dalam penghujung malam
Menjadi dara penangkap udara
Kata siapa aku takut
Kau saja hanya datang saat nanah tertoreh"

"Tanpa peluh jangan lewat sekelebat
Menjelma menjadi burung nasar
Nanti kau bisa tersasar dalam nanar"

"Daun kepala dikuliahi alasan
Membisikku ke batu nisan
Kau egois
Menghirup yang terkikis
Sekali lagi,
Aku tidak pilu, hanya nyilu.."

"Landai duduk kau mengandai
Di hatiku tiada bangkai
Hanya ada duka yang tak terangkai"

"Kita biru dalam olahan kayu
Bisu diantara sajak indonesia mendayu
Kita biru menderu
Di hadap panggung berganti gagak
Aku lupa pada besi perekam"

"Aku memang ekstasi tak bereaksi
Lalu kenapa kau masih bicara sangsi? "



Auditorium Gedung IX
April 23rd, 2009
SEKITAR PUKUL 5

Kita Biru

Empat deret dari tahta
Aku lihat biru datang
Dari sorotan besi peredam
Aku biru
Kau biru
Dan tak tersinggasana di samping tahtaku
Dia biru
Kita kenapa terpenjara jejak
Ah dua makara tertawa
Ada panggung kita di depan panggung
Aku merantai meniup sajak depan orang bernyanyi tentang cerita
Ada apa kau suram tunggu
Aku terlibat dalam panggung kita
Bukan yang ada di hadapku
Di atas tahta ini

Lagi-lagi mencinta biru
Aku, kau, dia..

Kita Biru..
Aku benci ini melainkan biru !



Auditorium Gedung IX
Kampus FIB UI
April 23rd, 2009
15:17

Friday 17 April 2009

Lekuk Stasiun UI

Derap pijak sebrang batuan
Sepuluh
Lima puluh
Seratus dan entah berapa ribu pasang lagi

Roda menggilas kepul angin
Merajai tiap beton licin
Geli sekali lentikan di dua kerut mata
Menerawang tubuh-tubuh acuh
Hendak rintis dunia

Ah bosan tubuh dibalik serat muda ini
Menunggu pedati pendobrak waktu
Penerjang surya yang mencium pinggul pilar
Ah bosan dengan batu dekap rumput
Bosan mencarimu datang dari timur
Melewati gerbang Kampus Perjuangan

Ah
Kau tak datang dengan pantulan gerobak kuning

Lekuk Stasiun UI
Pagar besi benar memenjarai
Jemput aku dengan pedatimu
Sebelum menuju lembah
Tempat kau mempelajari masa lalu
Replika saksi menanti janjimu
Membawaku menjelajah
Kau tak datang juga


Stasiun Universitas Indonesia
April 18th, 2009
08:36

Tuesday 14 April 2009

Etalase Klise

Aku bukan manekin
Tapi terias sedemikian tertata sebegitunya
Terpajang agar gelimangan tubuh berjalan, berhenti sejenak
Terkurung dalam lempengan bening
Terhujat sepedulinya
Apik menarik menyita dua bola kepala

Mendengar sapuan bisik-bisik pedas
Panas melesat menembus lempengan beling di hadapku
Kaku sorotan
Seorang kamu yang membeku
Bercengkrama dengan realita
Bersembunyi janji rancu
Datang di hadapku uluran tangan
Bebaskan aku dari etalase ini
Jika masih ingin basuh lebam

Etalase Klise
Dalam batasan yang tak jauh
Membuat diri semata patung
Diam, memandang, diam lagi

Diantara kau dan aku
Klise
Kita memijak taman yang sama
Bersandar batu yang sama
Tapi saling mengunci
Retakkan etalase ini
Agar aku jadi warna dalam goresan kanvasmu lagi
Bukan darah kau lebat
Aku tak lelah mengusir kelam yang bersetubuh suram

Ada apa kau suram?

Hanya bisa kau
Mencipta dan ingin aku berpelangi
Jangan biar orang lain memecah
Etalase Klise



April 15th, 2009
09:25

Monday 13 April 2009

Takut Aku Memaku

Ada yang memaksa keluar dari aliran darah
Dari nyeri-nyeri yang berseri
Aku sesak dalam ruang penjara
Tanpa tralis besi tua atau pun kawat berjaring
Ada yang memaksa hapus titian luka
Dari petak-petak yang mendetak
Aku gugur dalam sandaran debu
Tanpa pasir partikel menggebu

Rupa menelangsa, merajuk benang kenangan ketika gontokan beling tergetar berhadap rasa

Jika kau tetesi setitik darah di depan mukaku, aku bisa bunuh diri
Takut ini menggeming jiwa
Sampaikah isyarat yang ku titipi lewat celah rimba dalam balutan angin dalam kulitmu?
Aku takut
Menghakimi meretak rasa hawa lain terhadapmu
Takut jikalau hawa yang memenjaramu hanya memainkan drama
Takut jika ia murka hempas dan terluka
Takut mendapati ada tetes air di lembah hawa Kota Kembang
Aku takut sayang
Sangat
Jika kau tenggelam atas ribuan pesan yang kuselipkan pada lirihmu
Pada alunan desir daun pagi buta
Aku takut memaku
Pada tiap pijakan rapuh yang membuatmu lelah

Aku khawatir
Apakah kau baik-baik saja malam ini?



Padang Bunga Dalam Penjara
April 13th, 2009
22:29

Thursday 9 April 2009

Pria Penjual Obat

Ricik ini tajam menyentuh pilu
Lambai bulu yang mengaku
Pada tirai hujan senja itu
Lupa kita pada realita
Kau beri magnet dalam luapan kata
Aku benci pantulan dusta
Memberi ruang dalam dunia, memberhenti waktu
Hembus menyibak kaku
Lupa pada sayu dan pilu

Hei kau pria penjual obat
Lihat dulu siapa yang mau kau obat
Ini wanita pembenci obat
Pelari karsa yang tiada obat
Berani sekali mencari celah
Gerbang belum kubuka

Pria penjual obat
Letih matanya menerkam rapuh
Di lorong-lorong dingin
Aku terkaget, tegaknya kau
Tak takut jika aku hanya mencari teduhan
Semenit kurang taburkan pelita
Genggam jemari diatas kayu jingga
Agar aku tak membohongi rasa yang tak tersampai

Mengapa ikuti titian langkahku
Yang mendikte kontras
Pada keyakinan
Sorot lampu jembatan bingung
Tangga terpijak menggumam
Kita berjalan tau ujung
Peluk saja aku yang terlalu rapuh
Jangan mengiba disela derit kereta

Kau pria penjual obat
Masih rintih sedikit celah hati
Aku terpejam
Geli nyeri jeli
Yakinkan aku
Lebih dari salib di tangan kirimu
Aku terpejam
Terima kasih untuk tiap terik hingga senja lenyap
Aku takut kau tertusuk duri rinduku padanya yang lain..
Salib di kiri melingkar
Masih beranikah rengkuh kanan jemari?


April 10th, 2009
04:11

Ujung Cahaya

Persetan dengan bayang
Kenapa tak redup
Kedalam himpitan realita
Aku mencoba memaki dinding
Peluhnya trauma
Aku mencoba menyulam aksara
Agar terbentak nalarmu
Walau seperseribu detik saja
Sadarkah kau?
Mencoba mencari ujung cahaya
Yang tak tergoyah
Rebah
Agar tiada terpantul bayang
Dengan bisik menhantui
Masih
Tak kudapat ujung cahaya
Terlalu absolut
Dimanakah kilat berlabuh
Pancar lilin berhenti menangis
Milyaran bintang tenggelam tak tergalaksi
Sinar lentera dari besi berjalan yang lelah
Surya yang menjemu malu
Aku tak hempas
Menemu ujung cahaya
Yang tiada menyapaku
Terik ini menyiksa
Memantul yang tak dihendak
Lantas aku mendidih
Bumi enggan dongengkan
Agar aku tau ujung cahaya
Dan lepas dari limpahan bayangmu


April 10th, 2009.
03:43

Thursday 2 April 2009

Selamat Malam Cermin

Selamat malam cermin
Kenapa kau membisu
Aku ingin bercengkrama
Sejenak saja menyita waktu
Lantas matilah segara umpatan

Selamat malam cermin
Larik yang terasa layu
Sempurnanya merefleksikan benda
Dari jutaan cahaya pilu
Riak terkibas beribu hujatan

Cermin
Aku mencoba meraba dalam doamu
Aku melihat pantulan diri siapa
Begitu menyedihkan
Rapuh dan layuh
Ini refleksi dari apa
Kelam dan hitam

Cermin
Di hadapmu aku menyeru
Retak dalam detak
Ini raga untuk siapa
Cermin
Jangan biarkan disampingku kau pantulkan dirinya
Dalam tangan titik suara
Yang mengisyaratkan rindu


Cermin

Jangan

Cermin

Jangan bawa bayangku di hadapan dirinya
Nanti dia takut dan merasuk lagi
Cermin sampaikan saja
Aku rindu
Selamat malam cermin





Kampus FIB UI
April 3rd, 2009
12:53

Wednesday 1 April 2009

Wanita Berhati Baja.

Harum kayu putih tak tersibakkan apapun

Tiap Lengkungan mata sudah agak berkerut

Lengah lelah hati teriris dalam mata pisau ketabahan

Genting yang tercemburui hujan dalam angin'

Wanita berhati baja..

Tak pernah aku ingin direngkuh oleh tubuhnya

Tapi aku lemah oleh ujung kata dalam nasihatnya

Dari segala dosa yang tertentang

Dari segala selimut yang kaurebahi di tubuhku

Dari rewelan sang pria dibalik remot kontrol

Dari segala kerisauan atas pekerjaan

Di Penjara ini dan Di Penjaranya

Jikalau orang bertanya, berbisik

Siapakah Wanita Berhati Baja itu

Akan dengan lantang kujawab

Dialah Ibundaku tersayang..

Sedih dan luka yang tergores oleh pria dibalik remot kontrol

Aku tak pernah akan melewatkan pertunjukan senyumnya

Sebelum raga dipisahkan oleh nyawa

Aku akan membahagiakannya

Kampus FIB UI

16:07

HADIAH

Memangnya aku pernah bilang kalau kau salah. Justru kau sendiri yang merasa salah. Kenapa mencari tentang apa yang salah. Bukannya yang kulihat, kau membuatnya jadi serba salah.

Pertama kau suguhkan ke tanganku. Hadiah diantara lantunan lagu rindu. Bukan terbalut dari berlian. Hiasannya juga tidak dengan pita sutera. Entah apa bentuknya. Sangat bercahaya. Bahkan saat aku terpejam berusaha menutup telinga. Helai rambutku menggelitik, seakan ada ujung kuku yang merayu. Tautan jemari membentak alam sadar kita. Sumpah serapah, ini apa? Magnet yang menjemput ceritakah rupanya. Hening diantara bangku-bangku kuning. Saat orang pening dibalik petikan gitar si keling. Begitu eloknya hadiah darimu, aku pun menyambutnya penuh senyum. Terima kasih.

Terlalu sering kau memberi hadiah. Padahal aku tak pernah minta. Dalam kedipan mata yang menenangkan hati. Memahkotai rasa yang jalang. Janganlah kau pantulkan kata dari bibirmu.

Ini hadiah terakhir darimu. Masih saja aku tak sanggup menolaknya. Masih juga bukan berpendar berlian dan kain sutera. Tapi kenapa tak ada cahaya yang terpancar. Sudah hilangkah ketulusan yang luruh. Atau selama ini kau hanya menceritakan dongeng. Tak pernahkah hatimu bergetar saat hadiah yang kau beri semu. Hari belum malam, kenapa kau ingin membuat hujan menjadi kering. Jangan manja aku tanya pada siapa bukan dengan siapa. Kau suguhkan lagi hadiah ini, tiket gratis agar aku bisa merasakan tenggelam kehabisan nafas. Agar aku bisa merasakan jatuh dari negeri langitmu. Agar aku bisa bermain bersama hatimu dan terpenjara dalam sel diujung jiwamu. Sungguh, masih aku terima hadiah ini. Karena aku hanya bisa menerima.

Hadiah membuatku diantara hitam dan putih.
Maafkan jika tidak sempat berterima kasih.
Untuk
Hadiah terakhir..



March 14th, 2009
15:49

Es Teh Manis dan Rokok

Segelas es teh manis dan rokok
Lantak pula pengumpul botol rontok
Masih angin mencandai kuduk
Tak sepatah pun singgah duduk

Segelas es teh manis berganti rokok kedua
Padam gedung angka keberuntungan ganjil
Yang bertatap monumen luka
Tak tega bambu disentil

Segelas es teh manis masih berembun
Percik api rokok kedua, setengah risau tertuntun
Lepas kuliah muka-muka manyun
Tangan-tangan malu menyusun

Segelas es teh manis kan habis
Rokok ketiga baru terkais
Asap melagu bibir tipis
Bikin kembang kempis jadi puitis

Es teh manis
Rokok
Rokok
Segelas es teh manis masi teraduk
Belumlah malam menjemput dari duduk
Kawan masih mengutuk-ngutuk
Tentang hatiku yang lapuk
Dalam mimpi diatas kapuk

Es Teh Manis dan Rokok
Kau tau seharusnya apa
Di bawah atap gubuk
Yang membuatku tersihir

Es Teh Manis dan Rokok
Masihkah engkau tau?
Dan singgah dari pertapaan?
Yang mengunci di gedung ganjil
Aku tak yakin kau tau
Serius

Aku tak yakin..

Kantin Sastra FIB UI
March 16th, 2009
19:23

Atas Kanvas

 Kesekian kalinya
Di atas kanvas
Meranggas untain kuas
Yang menjelma dimensi
Menohok aksara
Belum sempat diterka
Digoresnya satu per satu
Apa yang tak pernah terefleksi
Dari segala sangsi

Tak perlu air, percuma mengalir
Cat minyak ini tak sudi menyatu
Hanya merenda-renda warna
Menerobos celah
Saat bulir jiwa
Diciptakan untuk rusuknya
Sedan sejuta lebih
Ditertawakan untuk batang penyangga bulu angsa
Digenggamnya patahan fakta dan lembaran cerita
Mempelajari masa lalu, di Taman Budaya..

Tunggu dulu,
Jangan terburu-buru
Kerut keningnya saja menjemu
Serat menyerap agak terlalu malu

Di atas kanvas
Tanpa satu pun sketsanya menari
Untuk sekedar memberi mantra
Siulkan kekurangan hingga sempurna
Didiktenya segala palsu membungkus tahir
Aku masih mengawasinya
Melukis telaga kering, di dalamnya ada sampan rapuh
Mana bisa sampai tepian
Hati ini dengannya saja didayung setengah-setengah
Lewati arus yang mencekik
Apalagi telaga kering
Hujan saja tak rela membasahi

Tenang saja,
Aku masih mengawasinya
Kali ini dia lukis jembatan dengan hitam
Terpejam aku karena terlalu kokoh
Sangat mustahil di atas telaga kering
Satu bilik matanya saja aku menolak menatap
Teriakan batinnya meronta
Agar aku tak membencinya
Tembok pun mengerti
Aku tak bisa memberi koma pada realita

Sudahlah..
Jiwa lain telah memaksa menjadi rusuknya jua
Tapi jiwa yang kupunya ini,
Adalah rusuknya, jembatan hitam yang dia lukis
Yang membawanya menyebrang pada titian telaga kering
Kokoh walaupun dia injakan telapaknya..

Dia minta kepadaku warna merah
Agar sekejap memberi cerah
Tak kuberi, sampai dia terlatah-latah
Risau menerjang marah
Kanvas dia tetesi darah

Aku masih mengawasi
Hingga merah darahnya habis
Untuk melukiskan mawar penuh duri
Menggumpal pula darahku
Aku rela terbang
Mengawasi
Sampai tau siapa yang terakhir tertawa
Bukan Dia bukan Aku
Bukan Darah
di Atas Kanvas...


March 23rd, 2009
Pamulang-Banten.
00:32

Tuesday 31 March 2009

Aku Mencarimu Dalam Setiap

Apakah kau tau, menyadari, dan merasakan?
Bahwa
Aku mencarimu dalam setiap kata yang terucap
Aku mencarimu dalam setiap detak jantung, aliran darah, hingga aku ingin detak ini berhenti saja
Aku mencarimu dalam setiap jejak-jejak langkahku meniti tanah yang hampa
Aku mencarimu dalam setiap aluan lagu yang kau berikan padaku
Aku mencarimu dalam setiap tumpukan buku yang menandaimu
Aku mencarimu dalam setiap kemasan sekotak susu coklat
Aku mencarimu dalam setiap bata-bata di taman budaya
Aku mencarimu dalam setiap dahan-dahan di balai hutan
Aku mencarimu dalam setiap remang lampu yang redup di balai hutan
Aku mencarimu dalam setiap tatapan polos rusa-rusa
Aku mencarimu dalam setiap jendela ruang kelas
Aku mencarimu dalam setiap lorong-lorong taman budaya
Aku mencarimu dalam setiap majalah dinding berisi kertas-kertas lepas
Aku mencrimu dalam setiap hamparan tanah yang bersetubuh dengan hujan
Aku mencarimu dalam setiap titian halte bus
Aku mencarimu dalam setiap sentuhan sweater biru
Aku mencarimu dalam setiap hembusan dingin angin dalam kamarku
Aku mencarimu dalam setiap bubur tanpa kacang
Aku mencarimu dalam setiap batu dudukan kantin sastra
Aku mencarimu dalam setiap bambu-bambu tempat sandaran aku berkeluh
Aku mencarimu dalam setiap sajak yang terangkai
Aku mencarimu dalam setiap bis kuning yang berhenti dan lintas di depan mataku
Aku mencarimu dalam setiap pantulan cahaya di gedung angka keberuntungan ganjil
Aku mencarimu dalam setiap pekatnya gelang hitam di pergelangan tangan
Aku mencarimu dalam setiap hujatan orang-orang
Aku mencarimu dalam setiap muka-muka yang terlihat iba di hadapku
Aku mencarimu dalam setiap pesan-pesan dalam ponsel
Aku mencarimu dalam setiap kepingan gambar diri saat waktu bersahabat
Aku mencarimu dalam setiap detak jam yang berputar
Aku mencarimu dalam setiap rintik hujan yang elok tak berbelok
Aku mencarimu dalam setiap hempasan nafas yang penat
Aku mencarimu dalam setiap pertunjukan tawa palsuku di depan semua orang
Aku mencarimu dalam setiap obrolan anak-anak yang mempelajari masa lalu
Aku mencarimu dalam setiap ucapan tentang ibunda tersayang
Aku mencarimu dalam setiap cahaya dari dunia maya
Aku mencarimu dalam setiap doa-doa kecilku
Aku mencarimu dalam setiap pejaman kelopak mata
Aku mencarimu dalam setiap hawa dingin yang membangunkanku setiap pagi
Aku mencarimu dalam setiap kekecewaan
Aku mencarimu dalam setiap tetes-tetes di pelupuk mata
Aku mencarimu dalam setiap rasa sakit yang selalu berusaha dibendung
Aku mencarimu dalam setiap realita yang menunjukan aku kuat dan kokoh
Aku mencarimu dalam setiap lensa kamera yang merekam riwayatku
Aku mencarimu dalam setiap perasaan yang tak bisa tersampaikan

Apa kau masih merasakan, menyadari, dan mencariku?
Aku sangat tak yakin
Sungguh

Aku masih mencarimu karena aku mengingatmu

Dalam setiap kehampaan
Dalam setiap pria-pria penjual obat
Aku benci minum obat, kau tau bukan?
Aku juga orang yang sangat penakut, jangan tertawakan aku seperti kawan lainnya.
Pantaskah aku mengelak dari nasihat-nasihat setiap orang?
Pantaskah aku masi menjatuhi pelupuk mata dengan embun?
Pantaskah aku masih merindukanmu?
Bayang-bayang saja menyuruhku pergi
Aku pun pergi dalam realita dihadapmu tak mungkin tanpa alasan
Aku masih mencarimu
Masih mencarimu
Masih
Mencarimu dalam perasaan yang bertahan.
Letih perih sendu yang terbelenggu
Aku mencarimu dalam nafas terakhirku kelak..


Padang Bunga dalam Penjara
March 31th, 2009
23:34