Wednesday 29 April 2009

Gadis Miris Sastra Inggris

Terjebak dalam rimba lantunan, meretak otak gegas mengarah sajadah
Pada keranda agung tanpa sandiwara panggung
Alat berpijak sedang tak bijak
Kepompong terlalu hangat berkerah surya sengati lempeng kaca
Tiba sudah ke puri tak berperi
Tidak dengan kuda, hanya gerobak merah muda

Gadis Miris Sastra Inggris,
Membabat semak gelisah, memangkas perdu haru
Tiada mengerti tempaan suara
Biar lengah resap jengah
Adakah yang ingin menebar gores lengkung di bawah organ nafasnya?
Atau merentang hasrat di kerikil simpuhan garis sirat?

Murka memonopoli syaraf mulia berjejal murung
Dia terkurung di tengah ordinat teduh
Menelaah penangkal tangis untuk kulit bintang yang berpendar

Gadis Miris Sastra Inggris,
Menepis yang terkikis hingga habis segala manis

Tragis..



April 29th, 2009
21:26

Monday 27 April 2009

Expectation

Buntalan kertas tergeletak di atas keramik, malam yang ganas bikin lemas

Mentari terlalu meranggas pagi tadi di kala aku berpapas dengan segelimangan tubuh yang hendak memetik debu

Dalam hitungan semut berjalan, kusandarkan raga di atas kotak lembut, di bawah temaram lampu aku menghela sepercik nafas

Hendak arwah berjalang menuju negeri di bawah kapuk, namun kau belum menjumput singasana, pemuda berkelana kijang?

Rebah selimut balut raga, jangan lagi detak terkecup kutuk dalam kantuk

Aku belum binasa ketika ujung fajar menanti untuk kembali dikedipkan bilik matamu



April 27th, 2009
23:11

Sunday 26 April 2009

Tepi Mimpi

Rupanya pernikahan sedang goyah
Antara bumi dan matahari
Aku menyaksikan mereka terpisah
Memelas dalam kelabu
Kali ini hujan malam waktu barat

Saat kau terpejam, aku jatuh dalam mimpimu
Membungkuk, mencuri kuduk
Mengirim wangi anyir tanpa busana hitam
Beradu dengan peristirahatan

Aku tidak perlu merobek kepalamu
Untuk menggigit kerut itu
Aku hanya ingin meletakkan lentera di belakang mata
Agar kau sejenak tak histeris
Berlabuh terpelanting dalam doaku

Kemudian jatuh dalam hakikimu
Kau terkaget dan bertanya
Sosok aku meradang pada cabang
Bukan membiarkan malaikat berdatang
Bahkan mengirim tulang ke kafan
Sayangnya aku tidak menemu jalan pulang
Aku tersesat dalam tepi mimpi
Lenganmu terlalu kuat menahan
Memintaku membakar realita
Mendampingi dalam pembuluh bawah sadar

Tahukah kau,
Aku pun tak pernah suka yang terakhir



Selepas Hujan Malam Waktu Banten
April 26th, 2009
20:44

PERTIGAAN

Tak sejumput kubuka gerbang
Angin hitam menyusup lewat celah sempit
Tak rapat, tak dapat, mencari sempat
Hahaha keparat !

Aku menyusun seperempat sisa malam
Pada apapun yang berliku
Di pertigaan hati
Menyapa hantu trotoar di pucuk kenistaan
Jembatan pucat tak lupa kubelai
Agar aliran ini tersendat dan mengumpat

Masih kau tidak mengerti?
Belikan saja aku peti
Bukan untuk yang mati atau harum melati
Kaulah yang genggam langkah sedikit darah
Tunjukan gagah tanpa arah
Biarlah
Langit bersuara marah

Rebana memilin lagu
Pulanglah sebelum minggu gagu
Bunda menunggumu penuh terigu

Di pertigaan hati,
Pundi-pundi dalam jerami
Dipusingkan aksioma membentuk harmoni
Aku berbasuh rembulan tanpa teduhan
Lagi-lagi turun hujan

Kuseka tatapan dengan embun
Berkilah melihat sederetan kabar
Dari pancar kotak besi gelegar
Meluncur pada apa yang beda
Harap kau reda untuk mengada

Kalau begitu, biarkan aku menjahit bola mata dengan kelopak lebih dahulu




Hujan Senja Banten
April 26th, 2009
17:15

Thursday 23 April 2009

Ekstasi Tak Bereaksi

"Aku mengetuk hari dalam penghujung malam
Menjadi dara penangkap udara
Kata siapa aku takut
Kau saja hanya datang saat nanah tertoreh"

"Tanpa peluh jangan lewat sekelebat
Menjelma menjadi burung nasar
Nanti kau bisa tersasar dalam nanar"

"Daun kepala dikuliahi alasan
Membisikku ke batu nisan
Kau egois
Menghirup yang terkikis
Sekali lagi,
Aku tidak pilu, hanya nyilu.."

"Landai duduk kau mengandai
Di hatiku tiada bangkai
Hanya ada duka yang tak terangkai"

"Kita biru dalam olahan kayu
Bisu diantara sajak indonesia mendayu
Kita biru menderu
Di hadap panggung berganti gagak
Aku lupa pada besi perekam"

"Aku memang ekstasi tak bereaksi
Lalu kenapa kau masih bicara sangsi? "



Auditorium Gedung IX
April 23rd, 2009
SEKITAR PUKUL 5

Kita Biru

Empat deret dari tahta
Aku lihat biru datang
Dari sorotan besi peredam
Aku biru
Kau biru
Dan tak tersinggasana di samping tahtaku
Dia biru
Kita kenapa terpenjara jejak
Ah dua makara tertawa
Ada panggung kita di depan panggung
Aku merantai meniup sajak depan orang bernyanyi tentang cerita
Ada apa kau suram tunggu
Aku terlibat dalam panggung kita
Bukan yang ada di hadapku
Di atas tahta ini

Lagi-lagi mencinta biru
Aku, kau, dia..

Kita Biru..
Aku benci ini melainkan biru !



Auditorium Gedung IX
Kampus FIB UI
April 23rd, 2009
15:17

Friday 17 April 2009

Lekuk Stasiun UI

Derap pijak sebrang batuan
Sepuluh
Lima puluh
Seratus dan entah berapa ribu pasang lagi

Roda menggilas kepul angin
Merajai tiap beton licin
Geli sekali lentikan di dua kerut mata
Menerawang tubuh-tubuh acuh
Hendak rintis dunia

Ah bosan tubuh dibalik serat muda ini
Menunggu pedati pendobrak waktu
Penerjang surya yang mencium pinggul pilar
Ah bosan dengan batu dekap rumput
Bosan mencarimu datang dari timur
Melewati gerbang Kampus Perjuangan

Ah
Kau tak datang dengan pantulan gerobak kuning

Lekuk Stasiun UI
Pagar besi benar memenjarai
Jemput aku dengan pedatimu
Sebelum menuju lembah
Tempat kau mempelajari masa lalu
Replika saksi menanti janjimu
Membawaku menjelajah
Kau tak datang juga


Stasiun Universitas Indonesia
April 18th, 2009
08:36

Tuesday 14 April 2009

Etalase Klise

Aku bukan manekin
Tapi terias sedemikian tertata sebegitunya
Terpajang agar gelimangan tubuh berjalan, berhenti sejenak
Terkurung dalam lempengan bening
Terhujat sepedulinya
Apik menarik menyita dua bola kepala

Mendengar sapuan bisik-bisik pedas
Panas melesat menembus lempengan beling di hadapku
Kaku sorotan
Seorang kamu yang membeku
Bercengkrama dengan realita
Bersembunyi janji rancu
Datang di hadapku uluran tangan
Bebaskan aku dari etalase ini
Jika masih ingin basuh lebam

Etalase Klise
Dalam batasan yang tak jauh
Membuat diri semata patung
Diam, memandang, diam lagi

Diantara kau dan aku
Klise
Kita memijak taman yang sama
Bersandar batu yang sama
Tapi saling mengunci
Retakkan etalase ini
Agar aku jadi warna dalam goresan kanvasmu lagi
Bukan darah kau lebat
Aku tak lelah mengusir kelam yang bersetubuh suram

Ada apa kau suram?

Hanya bisa kau
Mencipta dan ingin aku berpelangi
Jangan biar orang lain memecah
Etalase Klise



April 15th, 2009
09:25

Monday 13 April 2009

Takut Aku Memaku

Ada yang memaksa keluar dari aliran darah
Dari nyeri-nyeri yang berseri
Aku sesak dalam ruang penjara
Tanpa tralis besi tua atau pun kawat berjaring
Ada yang memaksa hapus titian luka
Dari petak-petak yang mendetak
Aku gugur dalam sandaran debu
Tanpa pasir partikel menggebu

Rupa menelangsa, merajuk benang kenangan ketika gontokan beling tergetar berhadap rasa

Jika kau tetesi setitik darah di depan mukaku, aku bisa bunuh diri
Takut ini menggeming jiwa
Sampaikah isyarat yang ku titipi lewat celah rimba dalam balutan angin dalam kulitmu?
Aku takut
Menghakimi meretak rasa hawa lain terhadapmu
Takut jikalau hawa yang memenjaramu hanya memainkan drama
Takut jika ia murka hempas dan terluka
Takut mendapati ada tetes air di lembah hawa Kota Kembang
Aku takut sayang
Sangat
Jika kau tenggelam atas ribuan pesan yang kuselipkan pada lirihmu
Pada alunan desir daun pagi buta
Aku takut memaku
Pada tiap pijakan rapuh yang membuatmu lelah

Aku khawatir
Apakah kau baik-baik saja malam ini?



Padang Bunga Dalam Penjara
April 13th, 2009
22:29

Thursday 9 April 2009

Pria Penjual Obat

Ricik ini tajam menyentuh pilu
Lambai bulu yang mengaku
Pada tirai hujan senja itu
Lupa kita pada realita
Kau beri magnet dalam luapan kata
Aku benci pantulan dusta
Memberi ruang dalam dunia, memberhenti waktu
Hembus menyibak kaku
Lupa pada sayu dan pilu

Hei kau pria penjual obat
Lihat dulu siapa yang mau kau obat
Ini wanita pembenci obat
Pelari karsa yang tiada obat
Berani sekali mencari celah
Gerbang belum kubuka

Pria penjual obat
Letih matanya menerkam rapuh
Di lorong-lorong dingin
Aku terkaget, tegaknya kau
Tak takut jika aku hanya mencari teduhan
Semenit kurang taburkan pelita
Genggam jemari diatas kayu jingga
Agar aku tak membohongi rasa yang tak tersampai

Mengapa ikuti titian langkahku
Yang mendikte kontras
Pada keyakinan
Sorot lampu jembatan bingung
Tangga terpijak menggumam
Kita berjalan tau ujung
Peluk saja aku yang terlalu rapuh
Jangan mengiba disela derit kereta

Kau pria penjual obat
Masih rintih sedikit celah hati
Aku terpejam
Geli nyeri jeli
Yakinkan aku
Lebih dari salib di tangan kirimu
Aku terpejam
Terima kasih untuk tiap terik hingga senja lenyap
Aku takut kau tertusuk duri rinduku padanya yang lain..
Salib di kiri melingkar
Masih beranikah rengkuh kanan jemari?


April 10th, 2009
04:11

Ujung Cahaya

Persetan dengan bayang
Kenapa tak redup
Kedalam himpitan realita
Aku mencoba memaki dinding
Peluhnya trauma
Aku mencoba menyulam aksara
Agar terbentak nalarmu
Walau seperseribu detik saja
Sadarkah kau?
Mencoba mencari ujung cahaya
Yang tak tergoyah
Rebah
Agar tiada terpantul bayang
Dengan bisik menhantui
Masih
Tak kudapat ujung cahaya
Terlalu absolut
Dimanakah kilat berlabuh
Pancar lilin berhenti menangis
Milyaran bintang tenggelam tak tergalaksi
Sinar lentera dari besi berjalan yang lelah
Surya yang menjemu malu
Aku tak hempas
Menemu ujung cahaya
Yang tiada menyapaku
Terik ini menyiksa
Memantul yang tak dihendak
Lantas aku mendidih
Bumi enggan dongengkan
Agar aku tau ujung cahaya
Dan lepas dari limpahan bayangmu


April 10th, 2009.
03:43

Thursday 2 April 2009

Selamat Malam Cermin

Selamat malam cermin
Kenapa kau membisu
Aku ingin bercengkrama
Sejenak saja menyita waktu
Lantas matilah segara umpatan

Selamat malam cermin
Larik yang terasa layu
Sempurnanya merefleksikan benda
Dari jutaan cahaya pilu
Riak terkibas beribu hujatan

Cermin
Aku mencoba meraba dalam doamu
Aku melihat pantulan diri siapa
Begitu menyedihkan
Rapuh dan layuh
Ini refleksi dari apa
Kelam dan hitam

Cermin
Di hadapmu aku menyeru
Retak dalam detak
Ini raga untuk siapa
Cermin
Jangan biarkan disampingku kau pantulkan dirinya
Dalam tangan titik suara
Yang mengisyaratkan rindu


Cermin

Jangan

Cermin

Jangan bawa bayangku di hadapan dirinya
Nanti dia takut dan merasuk lagi
Cermin sampaikan saja
Aku rindu
Selamat malam cermin





Kampus FIB UI
April 3rd, 2009
12:53

Wednesday 1 April 2009

Wanita Berhati Baja.

Harum kayu putih tak tersibakkan apapun

Tiap Lengkungan mata sudah agak berkerut

Lengah lelah hati teriris dalam mata pisau ketabahan

Genting yang tercemburui hujan dalam angin'

Wanita berhati baja..

Tak pernah aku ingin direngkuh oleh tubuhnya

Tapi aku lemah oleh ujung kata dalam nasihatnya

Dari segala dosa yang tertentang

Dari segala selimut yang kaurebahi di tubuhku

Dari rewelan sang pria dibalik remot kontrol

Dari segala kerisauan atas pekerjaan

Di Penjara ini dan Di Penjaranya

Jikalau orang bertanya, berbisik

Siapakah Wanita Berhati Baja itu

Akan dengan lantang kujawab

Dialah Ibundaku tersayang..

Sedih dan luka yang tergores oleh pria dibalik remot kontrol

Aku tak pernah akan melewatkan pertunjukan senyumnya

Sebelum raga dipisahkan oleh nyawa

Aku akan membahagiakannya

Kampus FIB UI

16:07

HADIAH

Memangnya aku pernah bilang kalau kau salah. Justru kau sendiri yang merasa salah. Kenapa mencari tentang apa yang salah. Bukannya yang kulihat, kau membuatnya jadi serba salah.

Pertama kau suguhkan ke tanganku. Hadiah diantara lantunan lagu rindu. Bukan terbalut dari berlian. Hiasannya juga tidak dengan pita sutera. Entah apa bentuknya. Sangat bercahaya. Bahkan saat aku terpejam berusaha menutup telinga. Helai rambutku menggelitik, seakan ada ujung kuku yang merayu. Tautan jemari membentak alam sadar kita. Sumpah serapah, ini apa? Magnet yang menjemput ceritakah rupanya. Hening diantara bangku-bangku kuning. Saat orang pening dibalik petikan gitar si keling. Begitu eloknya hadiah darimu, aku pun menyambutnya penuh senyum. Terima kasih.

Terlalu sering kau memberi hadiah. Padahal aku tak pernah minta. Dalam kedipan mata yang menenangkan hati. Memahkotai rasa yang jalang. Janganlah kau pantulkan kata dari bibirmu.

Ini hadiah terakhir darimu. Masih saja aku tak sanggup menolaknya. Masih juga bukan berpendar berlian dan kain sutera. Tapi kenapa tak ada cahaya yang terpancar. Sudah hilangkah ketulusan yang luruh. Atau selama ini kau hanya menceritakan dongeng. Tak pernahkah hatimu bergetar saat hadiah yang kau beri semu. Hari belum malam, kenapa kau ingin membuat hujan menjadi kering. Jangan manja aku tanya pada siapa bukan dengan siapa. Kau suguhkan lagi hadiah ini, tiket gratis agar aku bisa merasakan tenggelam kehabisan nafas. Agar aku bisa merasakan jatuh dari negeri langitmu. Agar aku bisa bermain bersama hatimu dan terpenjara dalam sel diujung jiwamu. Sungguh, masih aku terima hadiah ini. Karena aku hanya bisa menerima.

Hadiah membuatku diantara hitam dan putih.
Maafkan jika tidak sempat berterima kasih.
Untuk
Hadiah terakhir..



March 14th, 2009
15:49

Es Teh Manis dan Rokok

Segelas es teh manis dan rokok
Lantak pula pengumpul botol rontok
Masih angin mencandai kuduk
Tak sepatah pun singgah duduk

Segelas es teh manis berganti rokok kedua
Padam gedung angka keberuntungan ganjil
Yang bertatap monumen luka
Tak tega bambu disentil

Segelas es teh manis masih berembun
Percik api rokok kedua, setengah risau tertuntun
Lepas kuliah muka-muka manyun
Tangan-tangan malu menyusun

Segelas es teh manis kan habis
Rokok ketiga baru terkais
Asap melagu bibir tipis
Bikin kembang kempis jadi puitis

Es teh manis
Rokok
Rokok
Segelas es teh manis masi teraduk
Belumlah malam menjemput dari duduk
Kawan masih mengutuk-ngutuk
Tentang hatiku yang lapuk
Dalam mimpi diatas kapuk

Es Teh Manis dan Rokok
Kau tau seharusnya apa
Di bawah atap gubuk
Yang membuatku tersihir

Es Teh Manis dan Rokok
Masihkah engkau tau?
Dan singgah dari pertapaan?
Yang mengunci di gedung ganjil
Aku tak yakin kau tau
Serius

Aku tak yakin..

Kantin Sastra FIB UI
March 16th, 2009
19:23

Atas Kanvas

 Kesekian kalinya
Di atas kanvas
Meranggas untain kuas
Yang menjelma dimensi
Menohok aksara
Belum sempat diterka
Digoresnya satu per satu
Apa yang tak pernah terefleksi
Dari segala sangsi

Tak perlu air, percuma mengalir
Cat minyak ini tak sudi menyatu
Hanya merenda-renda warna
Menerobos celah
Saat bulir jiwa
Diciptakan untuk rusuknya
Sedan sejuta lebih
Ditertawakan untuk batang penyangga bulu angsa
Digenggamnya patahan fakta dan lembaran cerita
Mempelajari masa lalu, di Taman Budaya..

Tunggu dulu,
Jangan terburu-buru
Kerut keningnya saja menjemu
Serat menyerap agak terlalu malu

Di atas kanvas
Tanpa satu pun sketsanya menari
Untuk sekedar memberi mantra
Siulkan kekurangan hingga sempurna
Didiktenya segala palsu membungkus tahir
Aku masih mengawasinya
Melukis telaga kering, di dalamnya ada sampan rapuh
Mana bisa sampai tepian
Hati ini dengannya saja didayung setengah-setengah
Lewati arus yang mencekik
Apalagi telaga kering
Hujan saja tak rela membasahi

Tenang saja,
Aku masih mengawasinya
Kali ini dia lukis jembatan dengan hitam
Terpejam aku karena terlalu kokoh
Sangat mustahil di atas telaga kering
Satu bilik matanya saja aku menolak menatap
Teriakan batinnya meronta
Agar aku tak membencinya
Tembok pun mengerti
Aku tak bisa memberi koma pada realita

Sudahlah..
Jiwa lain telah memaksa menjadi rusuknya jua
Tapi jiwa yang kupunya ini,
Adalah rusuknya, jembatan hitam yang dia lukis
Yang membawanya menyebrang pada titian telaga kering
Kokoh walaupun dia injakan telapaknya..

Dia minta kepadaku warna merah
Agar sekejap memberi cerah
Tak kuberi, sampai dia terlatah-latah
Risau menerjang marah
Kanvas dia tetesi darah

Aku masih mengawasi
Hingga merah darahnya habis
Untuk melukiskan mawar penuh duri
Menggumpal pula darahku
Aku rela terbang
Mengawasi
Sampai tau siapa yang terakhir tertawa
Bukan Dia bukan Aku
Bukan Darah
di Atas Kanvas...


March 23rd, 2009
Pamulang-Banten.
00:32