Memangnya aku pernah bilang kalau kau salah. Justru kau sendiri yang merasa salah. Kenapa mencari tentang apa yang salah. Bukannya yang kulihat, kau membuatnya jadi serba salah.
Pertama kau suguhkan ke tanganku. Hadiah diantara lantunan lagu rindu. Bukan terbalut dari berlian. Hiasannya juga tidak dengan pita sutera. Entah apa bentuknya. Sangat bercahaya. Bahkan saat aku terpejam berusaha menutup telinga. Helai rambutku menggelitik, seakan ada ujung kuku yang merayu. Tautan jemari membentak alam sadar kita. Sumpah serapah, ini apa? Magnet yang menjemput ceritakah rupanya. Hening diantara bangku-bangku kuning. Saat orang pening dibalik petikan gitar si keling. Begitu eloknya hadiah darimu, aku pun menyambutnya penuh senyum. Terima kasih.
Terlalu sering kau memberi hadiah. Padahal aku tak pernah minta. Dalam kedipan mata yang menenangkan hati. Memahkotai rasa yang jalang. Janganlah kau pantulkan kata dari bibirmu.
Ini hadiah terakhir darimu. Masih saja aku tak sanggup menolaknya. Masih juga bukan berpendar berlian dan kain sutera. Tapi kenapa tak ada cahaya yang terpancar. Sudah hilangkah ketulusan yang luruh. Atau selama ini kau hanya menceritakan dongeng. Tak pernahkah hatimu bergetar saat hadiah yang kau beri semu. Hari belum malam, kenapa kau ingin membuat hujan menjadi kering. Jangan manja aku tanya pada siapa bukan dengan siapa. Kau suguhkan lagi hadiah ini, tiket gratis agar aku bisa merasakan tenggelam kehabisan nafas. Agar aku bisa merasakan jatuh dari negeri langitmu. Agar aku bisa bermain bersama hatimu dan terpenjara dalam sel diujung jiwamu. Sungguh, masih aku terima hadiah ini. Karena aku hanya bisa menerima.
Hadiah membuatku diantara hitam dan putih.
Maafkan jika tidak sempat berterima kasih.
Untuk
Hadiah terakhir..
March 14th, 2009
15:49
Wednesday, 1 April 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment