Tuesday 28 June 2011

Padang Bunga dalam Penjara

Rupanya, kita duri-duri berhamburan yang memabukkan
Tertancap pada matahari yang kutimang di bawah dada.
Kemudian, kunyalakan apinya dari beban yang kupanggul,
Kubawa-bawa hingga kemilaunya seperti sumbu obor yang kehilangan.

Nanah mencair di alis matamu,
kau balurkan kristal-kristalnya ke tubuhku, bebatuan laut hitam.
Kendati lidah-lidah akan terus terbakar oleh hujan fatamorgana, atau
aku yang ternyata ada di dalam kuburanmu itu?



2011

Monday 27 June 2011

Melankolialkoholik

Aku merindu, akan sekujur tubuh berselimut salju
yang membakar dini hariku
dengan sayap-sayap angin.
Sementara,
langit-langit kamarku gaduh,
gumpalan jemariku luntur pada pelupuk misteri.

Kucari-cari lagi sebuah sangkar,
tempat huru hara bergemuruh,
bias sinar arwah-arwah.

Oh, Melankolialkoholik,
Cuaca di penaku yang teriris,
Kau mati di huruf terakhir sebuah kesempatan.



2011

Sebuah Sirkus dalam Kotak Kaca

Gubuk kaca memantul cahaya dalam gelap
Dan, tiap sudutnya menjemput
air mata. Sebuah jangkar menjiwa
seperti langit tumbang,
seketika bukitbukit menjadi longsor yang menjelma darah,
separuhnya adalah abu-abu.

Nanah menjemput bahtera api
Seakan luka di sebilah rusuk berfantasi, menembus
nafsu yang berpendar.


2011

Pecandu Aksara

Khayalannya meremas-remas
sekujur petang paling jalang.
Seperti kecemasan wajah bocah
mendengar sirene mobil ambulans.
Menyelinap dalam pintu nelangsa, dan
pilu segelas bir yang menyemu di bentala pelupuk nista.

Dia; beringsut di kerumun sirkus tadi pagi, membenahi
sebungkus tembakau sambil bermasam muka.
Rumah sakit,
bagi para jiwa.



2011

Paradoks; Kembang Api

Maka, pagi itu segenggam redup
dari lampu-lampu trotoar sebelum kabut.
Sementara selai roti masih terkunci di gemertak gusi, gerobak besi kian berlalu, jatuh satu demi satu.
Yang tertinggal hanyalah janji,
tatkala kerahasiaan adalah kelambanan manusia menafsir sudut bara
yang mereka jajakan sambil bersila.


2011

Paradoks; Kopi Susu

Yang diletakkan atas himpitan surat kabar bukanlah embun, melacuri tepian cangkirmu.
Atau bahkan riak-riak air bersenggama dengan sembilu kuku.
Manismu adalah pahitku,
Pahitmu bukan juga manisku.


2010

Mei

Adalah bulan runtuh termesra,
Lembaran air melayang.
Kau, puisi-puisiku yang hilang,
Serpihan mozaik paling hina.
Mei, kaulah musim yang terbengkalai,
Berlumurkah aku kelak mencumbu sehelai rambutmu?


2011

Sunday 10 January 2010

Negriku Muntah Darah

Tak selangkah terpikul seluk beluk perkara untuk merasa merdeka, setelah fajar memberitakan bahwa dahulu otak moyang kita disetarakan dengan lutut para penjajah.

Ranjau-ranjau waktu memicu kronologi tiap peristiwa silam tentang mesiu yang terbaring di lumbung hati mereka, lalu mati.

Ditumpahkan darah mereka terkucur melalui pena-pena yang konon meraung tertulis dalam sejarah.

Dikisahkan pula tentang reformasi dimana tunas bangsa begitu menggebu mewarna ibukota dengan jaket almamater dan mata mereka yang panas meradang, seru menyayat suara.

Seketika senapan memilih tempat paling nyaman pada daging mereka yang berdering, seirama bersama lumpuhnya peluh mereka pada baju seragam aparat, sang keparat!

Ah negriku muntah darah bukan lagi di tangan penjajah..


Jan 10th, 2010
21:01

Wednesday 6 January 2010

Kita Berdampingan Dalam Alfabet

/I/ Karena bocah-bocah kecil pemilik manik bening belajar mengeja satu demi satu deretan huruf, menjejalkannya dlm gerigi mereka yang baru menyembul.

/II/ Dan kita tegak bersebelahan hingga mereka meniti tubuh kita untuk digoreskan, pada akta lahir kita yang silam atau nanti di nisan yang kelam.

/III/ Dua puluh enam begitu menghujam tanpa kita berdua, dalam tiap kamus bahasa, serta tiap ayat sang Kuasa. Kau yang di depanku,menjaga dan menimang dahaga.

/IV/ Meletik-retas wewangi kita tanpa busana, mencibir ngengat akan durjana. Kita akan terus berdampingan dlm alfabet, dlm setiap kekurangan antara ruang dan waktu..



Dec 26th, 2009

ISYARAT

dimana ketika kau mendengar kebisuan, aku bingung melangkah pada bongkahan darah berlabuhmu (hatimu), cahaya menepi lalu sulur-sulur merambat diantara deduri. kau cabuti hingga bunga bermekaran, kau lucuti sampai ada rona memerah, dibawah bendung air mata. jika nanti aku tiada, jangan kau tanam bunga itu dibawah nisanku. jangan pula kau hujani rerumputnya dgn ricik yg mnembus bulu halus matamu. bahkan ketika udara yang kau hirup kian berkarat, aku masih nyaman berada didekatmu hingga sekarat.


Dec, 2009