Sunday 10 January 2010

Negriku Muntah Darah

Tak selangkah terpikul seluk beluk perkara untuk merasa merdeka, setelah fajar memberitakan bahwa dahulu otak moyang kita disetarakan dengan lutut para penjajah.

Ranjau-ranjau waktu memicu kronologi tiap peristiwa silam tentang mesiu yang terbaring di lumbung hati mereka, lalu mati.

Ditumpahkan darah mereka terkucur melalui pena-pena yang konon meraung tertulis dalam sejarah.

Dikisahkan pula tentang reformasi dimana tunas bangsa begitu menggebu mewarna ibukota dengan jaket almamater dan mata mereka yang panas meradang, seru menyayat suara.

Seketika senapan memilih tempat paling nyaman pada daging mereka yang berdering, seirama bersama lumpuhnya peluh mereka pada baju seragam aparat, sang keparat!

Ah negriku muntah darah bukan lagi di tangan penjajah..


Jan 10th, 2010
21:01

Wednesday 6 January 2010

Kita Berdampingan Dalam Alfabet

/I/ Karena bocah-bocah kecil pemilik manik bening belajar mengeja satu demi satu deretan huruf, menjejalkannya dlm gerigi mereka yang baru menyembul.

/II/ Dan kita tegak bersebelahan hingga mereka meniti tubuh kita untuk digoreskan, pada akta lahir kita yang silam atau nanti di nisan yang kelam.

/III/ Dua puluh enam begitu menghujam tanpa kita berdua, dalam tiap kamus bahasa, serta tiap ayat sang Kuasa. Kau yang di depanku,menjaga dan menimang dahaga.

/IV/ Meletik-retas wewangi kita tanpa busana, mencibir ngengat akan durjana. Kita akan terus berdampingan dlm alfabet, dlm setiap kekurangan antara ruang dan waktu..



Dec 26th, 2009

ISYARAT

dimana ketika kau mendengar kebisuan, aku bingung melangkah pada bongkahan darah berlabuhmu (hatimu), cahaya menepi lalu sulur-sulur merambat diantara deduri. kau cabuti hingga bunga bermekaran, kau lucuti sampai ada rona memerah, dibawah bendung air mata. jika nanti aku tiada, jangan kau tanam bunga itu dibawah nisanku. jangan pula kau hujani rerumputnya dgn ricik yg mnembus bulu halus matamu. bahkan ketika udara yang kau hirup kian berkarat, aku masih nyaman berada didekatmu hingga sekarat.


Dec, 2009

Cileujit-Tanah Abang

/I/ Bila tidak bersanding di hadap ragamu, mungkin malam ini aku sudah tergelepar beku oleh ganasnya angin. Terpisah, dipertemukan kembali, dan kematian yg bertengger terlewati dalam satu hari. Kelak fase itu jadi nyata, menata celah antara kita. Bolehkah aku tahu seberapa banyak kekosongan yang harus kuisi dalam hatimu?

/II/ Kubenam gelisahku akan nafas yg terpatah. Keriap air mencumbu tiap lampu stasiun. cuaca basah, gelegat angin larut. Di bangku kayu kita masih menjemu embun. Aku tak ingin pulang, kecuali denganmu.


Oct 4th, 2009.