Hari ini, dimana masa begitu abstrak dan sulit untuk dipadupadankan. Tak ada cahaya sesatir bait-bait pengeras suara di belahan dada senayan. Mendeklamasikan sekeping sejarah atau malah menambah deret darah yang tumpah pada daftar surat kabar? Mereka keluar masuk kuda besi, dalam larik pidato tak ada lantunan tentang kisah malaikat kecil berbekal bulu ayam di bibir jalan. Sungguh membuatku iri, katanya negriku mewariskan atap kelabu dan selimut debu. Sementara ada beribu lembar rupiah yang mereka sembunyikan dibalik resleting celana. Aku pikir ini sebuah pertunjukan teater, ternyata bentang luas sayap garuda menjadi gulita, ini realita. Lensa elektronik semakin lugas merekam jejak, memulas segudang persimpangan atas putaran roda, hidup atau mati sia-sia. Selirih jeritan besi peron. Sebilangan anak berkata "Cita-citaku ingin jadi preman","Aku ingin jadi pelacur, Kak..."
Bukankah itu lebih baik daripada tidak memiliki cita-cita? Atau memiliki cita-cita setinggi emas Monumen Nasional tapi menjajah bangsa sendiri?
October 20th, 2009.
Wednesday, 11 November 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment